
Rendahnya minat istri saya itu dikarenakan dia terlalu
terkuras tenaga dan pikirannya untuk urusan kantor. Dia berangkat ke kantor
pukul 07.30 dan pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah sudah lesu dan sekitar
pukul 20.00 dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan. Kalau sudah
begitu biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan dia, karena
malu kalau ketahuan.
Selama perkawinan kami sudah tak terhitung berapa kali saya berselingkuh. Kalau istri saya tahu, saya tak bisa membayangkan akan seperti apa neraka yang diciptakannya. Bukan apa-apa. Perempuan-perempuan yang saya tiduri adalah mereka yang sangat dekat dengan dia. Saya menyimpan rapat rahasia itu. Sampai kini. Itu karena saya melakukan persetubuhan hanya sekali terhadap seorang perempuan yang sama. Saya tak mau mengulanginya. Saya khawatir, pengulangan bakal melibatkan perasaan. Padahal yang saya inginkan cuma persetubuhan fisik. Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya sebisa mungkin, dan memberi kesan kepada si perempuan bahwa semua yang terjadi adalah kekeliruan. Memang ada beberapa perempuan sebagai perkecualian yang nanti akan saya ceritakan.
Perempuan pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak
lain adalah kakak istri saya. Oh ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara. Semuanya perempuan. Istri saya sebut saja bernama Yeni. Kedua kakak
Yeni sudah menikah dan punya anak. Mereka keluarga bahagia semuanya, dan telah
memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya dan istri yang ikut mertua
dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap minggu keluarga besar istri saya
berkumpul. Mereka keluarga yang hangat dan saling menyayangi.
Mbak Maya, kakak istri saya ini adalah seorang perempuan
yang dominan. Dia terlihat sangat menguasai suaminya. Saya sering melihat Mbak
Maya menghardik suaminya yang berpenampilan culun. Suami Mbak Maya sering
berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap istrinya. Tetapi kepada orang lain
Mbak Maya sangat ramah, termasuk kepada saya. Dia bahkan sangat baik. Mbak Maya
sering datang bersama kedua anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya -yang
artinya rumah saya juga- tanpa suaminya. Kadang-kadang sebagai basa-basi saya
bertanya, “Kenapa Mas Wid tidak diajak?” “Ahh malas saya ngajak dia,” jawabnya.
Saya tak pernah bertanya lebih jauh.
Seringkali saat Mbak Maya datang dan menginap Poker Deposit Pulsa, pas istri saya sedang tugas luar kota. Istri saya dua minggu sekali keluar kota saat itu. Dia adalah seorang detailer yang gigih dan ambisius. Jika sudah demikian biasanya ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya, atau makan pagi dan makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Maya, ya si Mbak inilah yang menggantikan tugas ibu mertua. Tak jarang Mbak Maya menemani saya makan.
Karena seringnya bertemu, maka saya pun mulai dirasuki
pikiran kotor. Saya sering membayangkan bisa tidur dengan Mbak Maya. Tapi
mustahil. Mbak Maya tidak menunjukkan tipe perempuan yang gampang diajak tidur.
Karenanya saya hanya bisa membayangkannya. Apalagi kalau pas hasrat menggejolak
sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali rasanya. Dan sore itu,
sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut dengan kipas angin di dalam
kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika Mbak Maya mendadak membuka pintu.
“Kopinya Dik Andy.” Saya terkejut, dan Mbak Maya buru-buru
menutup pintu ketika melihat sebelah tangan saya berada di dalam celana dalam,
sementara satu tangan lain mengibas-ibas rambut di depan kipas angin. Saya malu
awalnya. Tetapi kemudian berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Maya
melihat saya bugil ketika penis saya sedang tegang?
Pikiran itu terus mengusik saya. Peristiwa membuka pintu
kamar dengan mendadak bukan hal yang tidak mungkin. Adik-adik dan kakak-kakak
istri saya memang terbiasa begitu. Mereka sepertinya tidak menganggap masalah.
Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga. Adik istri saya yang bungsu (masih
kelas II SMU, sebut saja Rosi) bahkan pernah menyerobot masuk begitu saja
ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat itu kami tidak
sedang bugil. Tapi dia sendiri yang malu, dan berhari-hari meledek kami.
Sejak peristiwa Mbak Maya membuka pintu itu, saya jadi
sering memasang diri, tiduran di dalam kamar dengan hanya bercelana dalam
sambil coli (onani). Saya hanya ingin menjaga supaya penis saya tegang, dan
berharap saat itu Mbak Maya masuk. Saya rebahan sambil membaca majalah.
Sialnya, yang saya incar tidak pernah datang. Sekali waktu malah si Rosi yang
masuk buat meminjam lipstik istri saya. Ini memang sudah biasa. Buru-buru saya
tutupkan CD saya. Tapi rupanya mata Rosi keburu melihat.
“Woww, indahnya.” Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan gincu. “Mau kemana?” tanya saya. “Nggak. Pengin makai lipstik aja.” Saya meneruskan membaca. “Coli ya Mas?” katanya. Gadis ini memang manja, dan sangat terbuka dengan saya. Ketika saya masih berpacaran dengan istri saya, kemanjaannya bahkan luar biasa. Tak jarang kalau saya datang dia menggelendot di punggung saya. Tentu saya tak punya pikiran apa-apa. Dia kan masih kecil waktu itu. Tapi sekarang. Ahh. Tiba-tiba saya memperhatikannya. Dia sudah dewasa. Sudah seksi. Teteknya 34. Pinggang ramping, kulit bersih. Dia yang paling cantik di antara saudara istri saya.
Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan lebih mudah
sebenarnya menjebak Rosi daripada Mbak Maya. Rosi lebih terbuka, lebih manja.
Kalau cuma mencium pipi dan mengecup bibir sedikit, bukan hal yang sulit. Dulu
saya sering mengecup pipinya. Tapi sejak dia kelihatan sudah dewasa, saya tak
lagi melakukannya. Akhirnya sasaran jebakan saya beralih ke Rosi. Saya mencoba
melupakan Mbak Maya.
Baca juga : Pengalaman Pertamaku Ngewek Saat Masih Duduk Di Bangku SMP
Sore selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali memasang jebakan untuk Rosi. Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari terakhir istri saya up country. Artinya besok di kamar ini sudah ada istri saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri tegak. Saya tidak membaca majalah. Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata saya. Beberapa menit kemudian saya dengar pintu kamar berderit lembut. Ada yang membuka. Saya diam saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak ada tanggapan. Saya melihat pintu dengan sudut mata yang terpicing. Sialan. Tak ada orang sama sekali. Mungkin si Rosi langsung kabur. Saya hampir saja menghentikan onani saya ketika dari mata yang hampir tertutup saya lihat bayangan. Segera saya mengelus-elus penis saya dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak kecil. Saya mencoba mengerling di antara picingan mata. Astaga! Kepala Mbak Maya di ambang pintu. Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul lagi, hilang lagi, Kini tahulah saya, Mbak Maya sembunyi-sembunyi melihat saya. Beberapa saat kemudian pintu ditutup, dan tak dibuka kembali sampai saya menghentikan onani saya. Tanpa mani keluar.
Malamnya, di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua
mertua, Mbak Maya, Rosi dan kakak Rosi, Mayang. Berkali-kali saya merasakan
Mbak Maya memperhatikan saya. Saya berdebar-debar membayangkan apa yang ada di
pikiran Mbak Maya. Saya sengaja memperlambat makan saya. Dan ternyata Mbak Maya
pun demikian. Sehingga sampai semua beranjak dari meja makan, tinggal kami
berdua. Selesai makan kami tidak segera berlalu. Piring-piring kotor dan
makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu kami.
“Dik Andy kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?” Mbak
Maya mebuka suara. Saya kaget. Dia duduk persis di kanan saya. Dia memandangi saya.
Matanya seakan jatuh kasihan kepada saya. Sialan. “Maksud Mbak May apaan sih?”
saya pura-pura tidak tahu. “Tadi Mbak May lihat Dik Andy ngapain di kamar.
Sampai Dik Andy nggak liat. Kalau sedang gitu, kunci pintunya. Kalau Rosi atau
Ibu lihat gimana?” “Apaan sih?” saya tetap pura-pura tidak mengerti. “Tadi
onani kan?” “Ohh.” Saya berpura-pura malu. Perasaan saya senang bercampur
gugup, menunggu reaksi Mbak Maya. Saya menghela nafas panjang. Sengaja. “Yahh,
Yeni sudah tiga hari keluar kota. Pikiran saya sedang kotor. Jadi..” “Besok
lagi kalau Yeni mau keluar kota, kamu minta jatah dulu.” “Ahh Mbak May ini.
Susah Mbak nunggu moodnya si Yeni. Kadang pas saya lagi pengin dia sudah
kecapekan.” “Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?” “Saya tidak ingin dia
melakukan dengan terpaksa.” Kami sama-sama diam. Saya terus menunggu. Menunggu.
Jantung saya berdegup keras.
“Kamu sering swalayan gitu?” “Yaa sering Mbak. Kalau pengin,
terus Yeni nggak mau, ya saya swalayan. Ahh udah aahh. Kok ngomongin gitu?”
Saya pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi Mbak Maya tidak peduli.
“Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan kalian. Kamu harus
berbicara dengan Yeni. Masa sudah punya istri masih swalayan.” Mbak Maya
memegang punggung tangan saya. “Maaf Mbak. Nafsu saya besar. Sebaliknya dengan
Yeni. Jadi kayaknya saya yang mesti mengikuti kondisi dia.” Kali ini saya
bicara jujur. “Saya cukup puas bisa melayani diri sendiri kok.” “Kasihan kamu.”
Mbak Maya menyentuh ujung rambut saya, dan disibakkannya ke
belakang. Saya memberanikan diri menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas.
Mbak Maya seperti kaget, dan buru-buru menariknya. “Kapan kalian terakhir
kumpul?” “Dua atau tiga minggu lalu,” jawab saya. Bohong besar. Mbak Maya
mendesis kaget. “Ya ampuun.” “Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Yeni.
Nanti salah pengertian. Dikira saya mengadu soal begituan.” Mbak Maya kembali
menggenggam tangan saya. Erat, dan meremasnya. Isi celana saya mulai
bergerak-gerak. Kali ini saya yang menarik tangan saya dari genggaman Mbak
Maya. Tapi Mbak Maya menahannya. Saya menarik lagi. Bukan apa-apa. Kali ini
saya takut nanti dilihat orang lain. “Saya horny kalau Mbak pegang terus.” Mbak
Maya tertawa kecil dan melepaskan tangan saya. Dia beranjak sambil
mengucek-ucek rambut saya. “Kaciaann ipar Mbak satu ini.” Mbak Maya berlalu,
menuju ruang keluarga. “Liat TV aja yuk,” ajaknya. Saya memaki dalam hati.
Kurang ajar betul. Dibilang saya horny malah cengengesan, bukannya bilang,
“Saya juga nih, Dik.” Setengah jengkel saya mengikutinya. Di ruang keluarga
semua kumpul kecuali Rosi. Hanya sebentar. Saya masuk ke kamar.
Sekitar pukul 23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh.
Mbak Maya. Dia menempelkan telunjuknya di bibirnya. “Belum bobo?” tanyanya
lirih. Jantung saya berdenyut keras. “Belum.” Jawab saya. “Kita ngobrol di luar
yuk?” “Di sini saja Mbak.” Saya seperti mendapat inspirasi. “Ihh. Di teras aja.
Udah ngantuk belum?” Mbak Maya segera menghilang. Dengan hanya bersarung
telanjang dada dan CD saya mengikuti Mbak Maya ke teras. Saya memang terbiasa
tidur bertelanjang dada dan bersarung. Rumah telah senyap. TV telah dimatikan.
Keluarga ini memang terbiasa tidur sebelum jam 22.00. Hanya aku yang betah
melek.
Mbak Maya mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya berupa seutas tali tipis. Daster kuning yang agak ketat. Saya kini memperhatikan betul lekuk tubuh perempuan yang berjalan di depan saya itu. Pantat menonjol. Singset. Kulitnya paling putih di antara semua sadaranya. Umurnya berselisih tiga tahun dengan Yeni. Mbak Maya duduk di bangku teras yang gelap. Agen BandarQ Online Bangku ini dulu sering saya gunakan bercumbu dengan Yeni. Wajah Mbak Maya hanya terlihat samar-samar oleh cahaya lampu TL 10 watt milik tetangga sebelah. Itupun terhalang oleh daun-daun angsana yang rimbun.
Dia memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir
berhimpitan. Saya memang sengaja. Ketika dia mencoba menggeser sedikit menjauh,
perlahan-lahan saya mendekakan diri. “Dik Andy” Mbak Maya membuka percakapan.
“Nasib kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak.” Saya mengernyitkan dahi.
Menunggu Mbak Maya menjelaskan. Tapi perempuan itu diam saja. tangannya
memilin-milin ujung rambut. “Maksud Mbak apa sih?” “Tidak bahagia dalam urusan
tempat tidur. Ih. Gimana sih.” Mbak Maya mencubit paha saya. Saya mengaduh.
Memang sakit, Tapi saya senang. Perlahan-lahan penis saya bergerak. “Kok bisa?”
“Nggak tahu tuh. Mas Wib itu loyo abis.” “Impoten?” Saya agak kaget. “Ya enggak
sih. Tapi susah diajakin. Banyak nolaknya. Malas saya. Perempuan kok
dibegituin,” “Hihihi.. Tadi kok kasih nasihat ke saya?” Saya tersenyum kecil.
Mbak Maya mencoba mendaratkan lagi cubitannya. Tapi saya lebih sigap. Saya
tangkap tangan itu, dan saya amankan dalam genggaman. Saya mulai berani. Saya
remas tangan Mbak Maya. Penis saya terasa menegang. Badan mulai panas dingin.
Mungkinkan malam ini saya dan Mbak Maya..
“Terus cara pelampiasan Mbak gimana? Swalayan juga?” Tanya
saya. Saya taruh sebelah tangan di atas pahanya. Mbak Maya mencoba menghindar,
tapi tak jadi. “Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja.” “Kapan terakhir Mbak
Maya tidur sama Mas Wib?” Saya mencium punggung tangan Mbak Maya. Lalu tangan
itu saya taruh perlahan-lahan di antara pahaku, sedikit menyentuh penis. “Dua
minggu lalu.” “Heh?” Saya menatap matanya. Bener enggak sih. Kok jawabannya
sama dengan saya? Ngeledek apa gimana nih. “Bener.” Matanya mengerling ke
bawah, melihat sesuatu di dekat tangannya yang kugenggam. “Mbak..” Saya
menyusun kekuatan untuk berbicara. Tenggorokan terasa kering. Nafsu saya mulai
naik. Perempuan ini bener-bener seperti merpati. Jangan-jangan hanya jinak
ketika didekati. Saat dipegang dia kabur.
“Hm,” Mbak Maya menatap mata saya. “Mbak pengin?” Dia tak
menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya. Saya elus rambutnya. Saya sentuh
pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian mulut kami berpagutan. Lama. Ciuman
yang bergairah. Saya remas bagian dadanya. Lalu tali sebelah dasternya saya
tarik dan terlepas. Mbak Maya merintih ketika jari saya menyentuh belahan
dadanya. Secara spontan tangan kirinya yang sejak tadi di pangkuan saya
menggapai apa saja. Dan yang tertangkap adalah penis. Dia meremasnya. Saya
menggesek-gesekkan jari saya di dadanya. Kami kembali berciuman. “Di kamar aja
yuk Mbak?” ajak saya. Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju
kamar Mbak Maya. Kamar ini terletak bersebarangan dengan kamar saya. Di sebelah
kamar Mbak Maya adalah kamar mertua saya.
Malam itu tumpahlah segalanya. Kami bermain dengan hebatnya.
Berkali-kali. Ini adalah perselingkuhan saya yang pertama sejak saya kawin.
Belakangan saya tahu, itu juga perselingkuhan pertama Mbak Maya. Sebelum itu
tak terbetik pikiran untuk selingkuh, apalagi tidur dengan laki-laki lain
selain Mas Wib.
Bermacam gaya kami lakukan. Termasuk oral, dan sebuah
sedotan kuat menjelang saya orgasme. Semprotan mani menerjang tenggorokan Mbak
Maya. Itulah pertama kali mani saya diminum perempuan. Yeni pun tidak pernah.
Tidak mau. Jijik katanya. Menjelang pagi, saat tulang kami seperti dilolosi,
saya kembali ke kamar. Tidur.
Saya tidak berani mengulanginya lagi. Perasaan menyesal
tumpah-ruah ketika saya bertemu istri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan
Mbak Maya. Selepas itu dia mencoba menghindari pembicaraan yang menjurus ke
tempat tidur. Kami bersikap biasa-biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun.
Ketika tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati
Tidak akan selingkuh lagi. Ternyata janji tinggal janji. Nafsu besar lebih
mengusik saya. Terutama saat istri saya ke luar kota dan keinginan bersetubuh
mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin mengulanginya dengan Mbak Maya.
Tapi tampaknya mustahil. Mbak Maya benar-benar tidak memberi kesempatan kepada
saya. Dia tidak lagi mau masuk kamar saya. Jika ada perlu di menyuruh Rosi,
atau berteriak di luar kamar, memanggil saya. Bahkan mulai jarang menginap.
Akhirnya saya kembali ke sasaran awal saya. Rosi. Mungkinkah
saya menyetubuhi adik istri saya? Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan Mbak
Maya. Kepada dia saya tidak ragu untuk mengeluarkan benih saya ke dalam
rahimnya. Kalaupun hamil, tak masalah kan. Paling-paling kalau anaknya lahir
dan mirip dengan saya yaa banyak cara untuk menepis tuduhan. Lagian masak sih
pada curiga? Kehidupan terus berjalan. Usia kandungan istri saya menginjak
bulan ke-4. Tahu sendirilah bagaimana kondisi perempuan kalau sedang hamil
muda. Bawaannya malas melulu. Tapi untuk urusan pekerjaan dia sangat
bersemangat. Dia memang pekerja yang ambisius. Berdedikasi, disiplin, dan penuh
tanggung jawab. Karena itu jadwal keluar kota tetap dijalani. Kualitas hubungan
seks kami makin buruk. Dia seakan benar-benar tak ingin disentuh kecuali pada
saat benar-benar sedang relaks. Saya juga tak ingin memaksa. Karenanya saya
makin sering beronani diam-diam di kamar mandi. Kadang-kadang saya kasihan
terhadap diri sendiri. Kata-kata Mbak Maya sering terngiang-ngiang, terutama
sesaat setelah sperma memancar dari penis saya. “Kacian adik iparku ini..” Tapi
saya tak punya pilihan lain. Saya tak suka “jajan”. Maaf, saya agak jijik
dengan perempuan lacur.
Tiap kali beronani, yang saya bayangkan adalah wajah Mbak
Maya atau si bungsu Rosi, bergantian. Rosi telah tumbuh menjadi gadis yang
benar-benar matang. Montok, lincah. Cantik penuh gairah, dan terkesan genit.
Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi sudah tidak pernah lagi
bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya ngapelin kakaknya. Saya sering
mencuri pandang ke arah payudaranya. Ukurannya sangat saya idealkan. Sekitar
34. Punya istri saya sendiri hanya 32.
Seringkali, di balik baju seragam SMU-nya saya lihat gerakan
indah payudara itu. Keinginan untuk melihat payudara itu begitu kuatnya. Tapi
bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar mandi kami sangat rapat. Letak kamar saya
dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di sebelah gudang. Yang paling ujung
kamar Mak Jah, pembantu kami. Setelah kamar Mayang, kakak Rosi, baru kamar
saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari tembok. Sehingga tak mugkin buat
ngintip. Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya, kalau tidak salah antara gudang
dengan kamar Rosi terdapat sebuah jendela. Dulunya gudang ini memang berupa
tanah kosong semacam taman. Karena mertua butuh gudang tambahan, maka
dibangunlah gudang. Jendela kamar Rosi yang menghadap ke gudang tidak
dihilangkan. Saya pernah mengamati, dari jendela itu bisa mengintip isi kamar
Rosi.
Sejak itulah niat saya kesampaian. Saya sangat sering
diam-diam ke gudang begitu Rosi selesai mandi. Memang ada celah kecil tapi tak
cukup untuk mengintip. Karenanya diam-diam lubang itu saya perbesar dengan
obeng. Saya benar-benar takjub melihat sepasang payudara montok dan indah milik
Rosi. Meski sangat jarang, saya juga pernah melihat kemaluan Rosi yang
ditumbuhi bulu-bulu lembut.
Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan onani sehingga di
dekat lubang intipan itu terlihat bercak-bercak sperma saya. Tentu hanya saya
yang tahu kenapa dan apa bercak itu. Keinginan untuk menikmati tubuh Rosi makin
menggelayuti benak saya. Tetapi selalu tak saya temukan jalan. Sampai akhirnya
malam itu. Mertua saya meminta saya mendampingi Rosi untuk menghadiri Ultah temannya
di sebuah diskotik. Ibu khawatir terjadi apa-apa. Dengan perasaan luar biasa
gembira saya antar Rosi. Istri saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi saya
menolak. “Kamu kan harus detailing. Pakai saja. Masa orang hamil mau naik
motor?” Padahal yang sebenarnya, saya ingin merapat-rapatkan tubuh dengan Rosi.
Kami berangkat sekitar pukul 19.00. Dia membonceng. Kedua
tangannya memeluk pinggang saya. Saya rasakan benda kenyal di punggung saya.
Jantung saya berdesir-desir. Sesekali dengan nakal saya injak pedal rem dengan
mendadak. Akibatnya terjadi sentakan di punggung. Saya pura-pura tertawa ketika
Rosi dengan manja memukuli punggung saya. “Mas Andy genit,” katanya. Pada suatu
ketika, mungkin karena kesal, Rosi bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan
dadanya ke puggung saya. Menekannya. “Kalau mau gini, bilang aja terus terang,”
katanya. “Iya iya mau,” sahut saya. Tidak ada tanggapan. Rosi bahkan menggeser
duduknya, merenggang. Sialan.
Malam itu Rosi mengenakan rok span ketat dan atasan tank top,
dibalut jaket kulit. Benar-benar seksi ipar saya ini. Di diskotik telah
menunggu teman-teman Rosi. Ada sekitar 15-an orang. Saya membiarkan Rosi
berabung dengan teman-temannya. Saya memilih duduk di sudut. Malu dong kalau
nimbrung. Sudah tua, ihh. Saya hanya mengawasi dari kejauhan, menikmati
tubuh-tubuh indah para ABG. Tapi pandangan saya selalu berakhir ke tubuh Rosi.
She is the most beautiful girl. Di antara saudara istri saya Rosi memang yang
paling cantik. Tercantik kedua ya Mbak Maya, baru Yeni, istri saya. Mayang yang
terjelek. Tubuhnya kurus kering sehingga tidak menimbulkan nafsu.
Sesekali Rosi menengok ke arah tempat duduk saya sambil
melambai. Saya tersenyum mengangguk. Mereka turun ke arena. Sekitar tiga lagu
Rosi menghampiri saya. “Mas Andy udah pesan minum?” tanyanya. Dagu saya
menunjuk gelas berisi lemon tea di depan saya. Saya tak berani minum minuman
beralkohol, meski hanya bir. Saya pun bukan pecandu. “Kamu kok ke sini, udah
sana gabung temen-temen kamu,” kata saya. Janjinya Rosi dkk pulang pukul 22.00.
Tadi ibu mertua juga bilang supaya pulangnya jangan larut. “Nggak enak liat Mas
Andy mencangkung sendirian,” kata Rosi duduk di sebelah saya. “Sudah nggak
pa-pa.” “Bener?” Saya mengangguk, dan Rosi kembali ke grupnya. Habis satu lagu,
dia mendatangi saya. Menarik tangan saya. Saya memberontak. “Ayo. Nggak
apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta kok.”
Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal goyang. Dunia diskotik
sudah sangat lama tidak saya kunjungi. Dulupun saya jarang sekali. Hampir tidak
pernah. Saya ke diskotik sekedar supaya tahu saja kayak apa suasananya.
Sesekali tangan Rosi memegang tangan saya dan mengayun-ayunkannya. Musik
bener-benr hingar-bingar. Lampu berkelap-kelip, dan kaki-kaki menghentak di
lantai disko. Sesekali Rosi menuju meja untuk minum.
Menjelang pukul 22.00 sebagian teman Rosi pulang. Saya segera mengajak Rosi pulang juga. Agen DominoQQ Online “Bentar dong Mas Andy, please,” kata Rosi. Astaga. Tercium aroma alkohol dari mulutnya. “Heh. Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang.” Segera saya gelandang dia. “Yee Mas Andy gitu deh.” Dia merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini mulai menjemukan saya. “Udah dulu ya bro, sis. Satpam ngajakin pulang neh.” “Satpam-mu itu.” Saya menjitak lembut kepala Rosi. Rosi memang minum alkohol. Tak tahu apa yang diminumnya tadi. Dia pun terlihat sempoyongan. Saya jadi cemas. Takut nanti kena marah mertua. Disuruh jagain kok tidak bisa. Tapi ada senangnya juga sih. Rosi jadi lebih sering memeluk lengan saya supaya tidak sempoyongn.
Kami menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Saya bantu
Rosi mengenakan jaket yang kami tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing
resluitingnya. Berdesir darah saya ketika sedikit tersentuk bukit di dadanya.
“Hayoo, nakal lagi,” katanya. “Hus. Nggak sengaja juga.” “Sengaja nggak pa-pa
kok Mas.” Omongan Rosi makin ngaco. Dia tarik ke bawah resluitingnya. Dan
sebelum saya berkomentar dia sudah berkata, “Masih gerah. Ntar kalau dingin
Rosi kancingin deh.” Segera mesin kunyalakan, dan motor melaju meninggalkan
diskotik SO.
Sungguh menyenangkan. Rosi yang setengah mabuk ini seakan
merebahkan badannya di punggung saya. Kedua tangannya memeluk erat perut saya.
Jangan tanya bagaimana birahi saya. Penis saya menegang sejak tadi. Dagu Rosu
disadarkan ke pundak saya. Lembut nafasnya sesekali menyapu telinga saya. Saya
perlambat laju motor. Benar-benar saya ingin menikmati. Lalu saya seperti
merasa Rosi mencium pipi saya. Saya ingin memastikan dengan menoleh. Ternyata
memang dia baru saja mencium pipi saya. Bahkan selanjutnya dia mengecup pipi
saya. Saya kira dia benar-benar mabuk.
“Mas Andy, Rosi pengin pacaran dulu,” katanya mengejutkan
saya. “Pacaran sama Mas Andy? Gila kamu ya.” Penis saya makin kencang. “Mau
enggak?” “Kamu mabuk ya?” Dia tak menjawab. Hanya pelukannya tambah erat.
“Mas..” “Hmm” “Mas masih suka coli?” “Hus. Napa sih?” “Pengen tahu aja. Mbak
Yeni nggak mau melayani ya?” “Tahu apa kamu ini.” Saya sedikit berteriak. Saya
kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka dia omong begitu, Mungkin reflek
saja karena saya dipermalukan. “Sorry. Gitu aja marah.” Rosi kembali mencium
pipi saya. Bahkan dia tempelkan terus bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah
telinga. “Saya horny Ros.” “Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga diapa-apain”
Baca juga : Entot Bidan Muda Di Bawah Pengaruh Obat Perangsang
Saya raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang menyodok celana saya. Terperanjat dia. Tapi diam saja. Tangannya merasakan sesuatu bergerak-gerak di balik celana saya. “Pacaran ama Rosi mau nggak?” kata Rosi. Aroma alkohol benar-benar menyengat. “Di mana? Lagian udah malam. Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman.” “Kalau ama Mas Andy dijamin Ibu gak marah.” “Sok tahu.” “Bener. Ayuk deh. Ke taman aja. Tuh deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja.” Tanpa menunggu perintah, motor saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU I. Taman ini memang arena asyik bagi mereka yang seang berpacaran. Meski di sekitarnya lalu lintas ramai, tapi karena gelap, yaa tetap enak buat berpacaran. Kami mencari bangku kosong di taman. Sudah agak sepi jadi agak mudah mencarinya. Biasanya cukup ramai sehingga banyak yang berpacaran di rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Rosi merebahkan kepalanya di dada saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif. Atau karena pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket dan menaruhnya di dekat bangku.
“Kamu kan belum punya pacar, kok sudah segini berani Ros?”
tanya saya. “Enak aja belum punya pacar.” Dia protes. “Habis siapa pacar kamu?”
Saya genggam tangannya. Dia mengelus-elus dada saya. “Yaa ini.” Dia membuka
kancing kemeja saya. Saya makin yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa peduli
saya. Inilah saatnya. Saya kecup keningnya. Matanya. Hidung, pipi, lalu
bibirnya. Dia tersentak, dan memberikan pipinya. Saya kembali mencari bibirnya.
Saya kecup lagi perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia diam saja. Benarkah anak
ini belum pernah berciuman bibir dengan cowok? “Kamu belum pernah melakukan
ya?” kata saya. Dia tak menjawab. Saya cium lagi bibirnya. Saya julurkan lidah
saya. Tangannya meremas pinggang saya. Saya hisap lidahnya, saya kulum. Tangan
saya kini menjalar mencari payudara. Dia menggelinjang tetapi membiarkan tangan
saya menyusiup di antara celah BH-nya. Ketika saya menemukan bukit kenyal dan
meremasnya, dia mengerang panjang. Kedua kakinya terjatuh dari bangku dan
menendang-nendang rumputan. Saya buka kancing BH-nya yang terletak di bagian
depan. Saya usap-usap lembut, ke kiri, lalu ke kanan. Saya remas, saya
kili-kili. Dia mengaduh. Tangannya terus meremasi pinggang dan paha saya.
“Mas Andy..” “Hmm” “Please.. Please.” Saya mengangsurkan
muka saya menciumi bukit-bukit itu. Dia makin tak terkendali. Lalu, srrt
srrt..srrt. Sesuatu keluar dari penis saya. Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi
benar, mani saya telah keluar. Anehnya saya masih bernafsu. Tidak seperti
ketika bersetubuh dengan Yeni. Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan nafsu
hilang. Saya juga masih merasakan penis saya sanggup menerima rangsangan. Saya
masih menciumi payudara itu, menghisap puting, dan tangan saya mengelus paha,
menyelinap di antara celap CD. Membelai bulu-bulu lembut. Menyibak, dan
merasakan daging basah. Mulut Rosi terus mengaduh-aduh. Saya rasakan kemaluan
saya digeggamnya. Diremas dengan kasar, sehingga terasa sakit. Saya perlu
menggeser tempat duduk karena sakitnya. Agaknya dia tahu, dan melonggarkan
cengkeramannya.
Lalu dia membuka resluiting celana saya, merogoh isinya.
Meremas kuat-kuat. Tapi dia berhenti sebentar. “Kok basah Mas?” tanyanya. Saya
diam saja. “Ehh,ini yang disebut mani ya?” Sejenak situasi kacau. Ini anak
malah ngajak diskusi sih. Dia cium penis saya tapi tidak sampai menempel.
Kayaknya dia mencoba membaui. “Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya? “Heeh,”
jawab saya lalu kembali memainkan kelaminnya. “Asin juga ya?” Dia mengocok
penis saya dengan tangannya. “Pelan-pelan Ros. Enakan kamu ciumin deh,” kata
saya.
Tanpa perintah lanjutan Rosi mencium dan mengulum penis
saya. Uhh, kasarnya minta ampun, Tidak ada enaknya. Jauhh dengan yang dilakukan
Mbak Maya. Berkali-kai saya meminta dia untuk lebih pelan. Bahkan sesekali dia
menggigit penis saya sampai saya tersentak. Akhirnya saya kembali ejakulasi.
Bukan oleh mulutnya tapi karena kocokan tangannya. Setelah itu sunyi. Saya
lemas. Saya benahi pakaian saya. Dia juga membenahi pakaiannya. Tampaknya dia
telah terbebas dari pengaruh alkohol. Wajahnya yang belepotan mani dibersihkan
dengan tissu. “Makasih pelajarannya ya Mas.” Dia mengecup pipi saya. “Tapi kamu
janji jaga rahasia kan?” Saya ingin memastikan. “Iyaah. Emang mau cerita ama
siapa? Bunuh diri?” “Siapa tahu. Pokoknya just for us! Nobody else may knows.”
Dia mengangguk. Kami bersiap-siap pulang. Sepanjang perjalanan dia memeluk erat
tubuh saya. Menggelendot manja. Dan pikiran waras saya mulai bekerja. Saya
mulai dihinggapi kecemasan.
“Ros..” “Yaa” “Kamu nggak jatuh cinta ama Mas Andy kan? Everyting just for sex kan?” “Tahu deh.” “Please Ros. Kita nggak boleh keterusan. Anggap saja tadi kita sedang mabuk.” Saya menghentikan motor. “Iya deh.” “Bener ya? Ingat, Mas Andy ini suami Mbak Yeni.” Dia mengangguk mengerti. “Makasih Ros.” Saya kembali menjalankan motor. Situs Poker Online Terpercaya “Apa yang terjadi malam ini, tidak usahlah terulang lagi,” kata saya. Saya benar-benar takut sekarang. Saya sadari, Rosi masih kanak-kanak. Masih labil. Dia amat manja. Bisa saja dia lepas kendali dan tak mengerti apa arti hubungan seks sesaat. Lalu saya dengar dia sesenggukan. Menangis. Untunglah dia menepati janji. Segalanya berjalan seperti yang saya harapkan. Saya tak berani lagi mengulangi, meskipun kesempatan selalu terbuka dan dibuka oleh Rosi. Saya benar-benar takut akibatnya. Saya tidak mau menhancurkan keluarga besar istri saya. Tak mau menghancurkan rumah tangga saya.
Saya hanya menikmati Rosi di dalam bayangan. Ketika sedang
onani atau ketika sedang bersetubuh dengan Yeni. Sesekali saja saya
membayangkan Mbak Maya.
TH
Post A Comment:
0 comments: